Dua minggu yang lalu, ada seorang anak berumur sepuluh tahun ingin mendaftar kursus bahasa Inggris di tempat saya mengajar. Ketika saya tanya, "Kamu sekolah dimana?" Dia menjawab, "Saya ngga sekolah Miss." Lalu saya tanya lagi, "Sudah bisa baca belum?" Jawaban anak tersebut pun membuat saya kaget, "Belum Miss." Ketika banyak sekolah negeri sudah dibebaskan dari iuran sekolah ternyata masih saja ada anak yang belum sekolah. Sebagai pendidik hati saya sedih sekali melihat keadaan ini.
Beberapa hari setelahnya, saya bertemu dengan teman anak tersebut dan bertanya kenapa temannya sampai sekarang belum sekolah. Temannya pun menjawab, "Itu Miss ngga boleh sekolah sama bapaknya. Dia disuruh bantuin mulung." Hati saya pun langsung miris mendengar masih ada saja orang tua yang berpendapat kalau sekolah itu tidak penting.

Mungkin banyak orang yang bisa sukses walapun tanpa bersekolah. Tetapi tidak semua orang yang tidak bersekolah bisa sukses. Bersekolah itu penting. Di sekolah kita diajarkan ilmu pengetahuan. Di sekolah kita belajar menghormati orang yang lebih tua dari kita, kepala sekolah dan guru. Di sekolah kita diajarkan untuk berpikir kritis. Di sekolah kita diajarkan untuk tepat waktu. Di sekolah kita bertemu dengan teman-teman yang berbeda latar belakangnya dengan kita. Di sekolah kita diingatkan bahwa kesuksesan bukan tergantung dari seberapa pintar kita di kelas tetapi bagaimana nantinya setelah lulus sekolah kita bisa mengaplikasikan ilmu yang kita terima. Walaupun prestasi akademik di sekolah tidak menjamin kesuksesan kita tetaplah kita butuh sekolah. Tanpa sekolah kita tidak akan bisa membaca, menghitung, dan banyak hal lainnya yang tidak bisa kita pelajari sendiri.

Begitu pentingnnya sekolah sampai tempat saya bekerja saat ini, Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB), mendirikan rumah belajar. Rumah belajar yang didirikan karena kegelisahan begitu banyaknya anak putus sekolah di Indonesia terutama anak-anak yang hidup dalam keluarga menengah ke bawah. Saya bekerja di sini karena saya tahu betapa pentingnya pendidikan bagi anak-anak Indonesia.

Anda ingin ikut serta membantu anak-anak Indonesia untuk tetap bersekolah? Tidak perlu bekerja di YCAB seperti saya,  visit http://www.ycabfoundation.org and invest something for Indonesian kids ;)

source: googleimages

Setiap pulang kerja, satu hal yang selalu saya lakukan saat sampai di rumah adalah mengecek isi kulkas. Ada makanan atau minuman apa saja yang bisa dikonsumsi di sana. Sore tadi saya pun melakukan hal yang sama. Sesampainya di rumah, saya langsung membuka kulkas dan melihat isi kulkas tersebut. Ketika saya membuka kulkas, ternyata isinya semua makanan sehat semua: sari kedelai, sayur, apel, kacang almond, gula cair dan makanan sehat lainnya. Maklumlah ibu saya seorang vegetarian. Beliau sama sekali tidak mengkonsumsi daging atau telur. Mama saya bahkan tidak pernah makan sayuran yang dimasak, selalu yang mentah. Walaupun makanan yang di dalam kulkas rasanya terkadang tidak seenak makanan yang lain, saya tetap saja doyan makan makanan tersebut. 

Apakah saya terlambat untuk menulis di tahun yang baru ini? Mudah-mudahan saja tidak ya. Sungguh tidaklah mudah menjalani 20 hari pertama di bulan yang baru dan tahun yang baru ini. Cukup banyak godaan 'memaksa' saya untuk putar haluan. *Sigh* Baru 20 hari saja godaannya sudah banyak. Dear Sang Kemudi, bantu saya untuk tetap fokus kepada tujuan-Mu. Saya tetap mempercayakan pelayaran ini kepada-Mu.

Semakin lama penumpang dalam kapalku ini semakin beragam. Mulai dari penumpang yang seenaknya saja melakukan sesuatu, penumpang yang sering ngambek ketika keadaan kapal tidak sesuai dengan keinginan hatinya, sampai penumpang yang selalu membuat aku tersenyum.

Penumpang itulah yang membuat perjalananku menjadi lebih 'berwarna'. Terkadang aku suka mengeluh di dalam hatiku, kenapa sang Kemudi mengizinkan penumpang seperti ini atau penumpang seperti aku untuk ikut berlayar bersamaku. Namun seketika aku mengingat perkataan-Nya, "Bersyukurlah senantiasa".

Baiklah Kapten!

Tidak terasa sudah mendekati akhir bulan Oktober. Perjalanan selama bulan ini ternyata tidak semudah yang rencanakan saat berada di titik awal. Ada badai yang memang tidak terlalu keras tapi tetap saja mengganggu perjalanan saya selama saya berada di bulan Oktober. Mulai dari partner kerja yang terkadang suka membuat kesal orang lain sampai penghuni kapal saya yang lain, anak-anak yang membuat hati saya capai. Mungkin sang Kemudi ingin membuat saya lebih bersyukur dengan apa yang saya alami di setiap perjalananku. Walaupun ada badai, setidaknya sang Kemudi tetap memegang kendali atas kapal saya kan? Jadi saya tidak perlu takut dan gentar seandainya badai di hari atau bulan berikutnya semakin kencang. Saya tahu Dia adalah sang Kemudi yang bisa saya percaya.

Selain badai yang bisa dibilang cukup mengganggu saya untuk menikmati perjalanan, ada juga suatu peristiwa mengesankan yang saya alami. Pelangi sehabis hujan. Akhirnya sang Kemudi mengizinkan saya melihat pelangi yang sangaaaaaat indah. Saya sampai terkesima melihat perbuatan-Nya yang besar ini. Mungkin bagi beberapa orang, melihat pelangi dalam perjalanan menuju ke suatu tempat adalah hal yang biasa, tapi untukku melihat pelangi adalah pekerjaan yang paling menyenangkan di muka bumi ini. Karena pelangi mengingatkan saya tentang betapa besar perbuatan-Nya.Walaupun pria yang paling saya sayangi tidak bisa menemani saya melihat pelangi yang sangat indah ini, saya percaya dia melihat dari tempat yang nun jauh dan indah di sana. Saya sempat berbincang dengan salah satu penghuni kapal, teman baik saya. Dia mengalami hal yang sama dengan saya, ditinggalkan oleh pria yang paling kami sayangi. Dia berbisik kepada saya saat kami bersama-sama melihat pelangi itu,"Wi, papa kita lihat kita di sini kan ya?" Seketika air mata keluar dan membasahi pipi merah saya.

Graduation Day - 10 Oktober 2013

Pelangi ini indah sekali kan, Pa? :')

Kembali berkelut dengan perkuliahan. Ya saya memang sudah sepuh di kampus tapi tetap saja harus kuliah. Kadang saya mengeluh dalam hati kenapa dosen-dosen di kampus saya harus memberikan abjad ke 3, 4 atau bahkan 5 di akhir perkuliahan. Apa salah saya sehingga saya harus membayar satu semester lagi demi mendapat huruf A dalam kartu hasil studi saya? Saya sudah berjuang sedari awal semester demi mendapat nilai terbaik, tapi kenapa dosen itu tega memberikan nilai seenaknya. Apa mereka pernah mengalami kesulitan dalam dunia perkuliahan mereka dahulu sehingga sekarang mereka menjadikan saya dan mahasiswa yang lain korban. Asumsi? Yes, saya sedang berasumsi dan mungkin saja asumsi saya benar tapi hari ini seorang bapak dosen yang lain menyadarkan saya kalau asumsi tidak selamanya benar. Tidak selamanya dosen sentimen dengan mahasiswanya atau seperti asumsi saya di atas tadi, menjadikan mahasiswa 'korban' dosen tersebut supaya mahasiswa tersebut bisa merasakan kesulitan yang dosennya pernah rasakan. Tidak selamanya asumsi tersebut benar. Mungkin saja mahasiswa yang diajarnya mengumpukan tugas dengan label yang-penting-selesai-tepat-waktu-ngga-peduli-benar-atau-salah. Nah prinsip ini mungkin yang menjadikan sang dosen tidak mau meluluskan mahasiswa yang seperti ini karena as you know, ada dosen yang ngga peduli namanya prinsip tugas-yang-penting-selesai. Dosen butuh mahasiswa yang punya prinsip selesai tepat waktu dan hasilnya oke. Intinya memenuhi kriteria yang disyaratkan dosen tersebut. Now, masih mau berasumsi?